Kenapa Jam Gadang Empat Romawinya Berbeda....???
Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu Belanda
kepada Rook Maker, sekretaris atau controleur Fort de Kock (sekarang
kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia-Belanda.
Arsitektur menara jam ini dirancang oleh Yazin Sutan Gigi Ameh,
sedangkan peletakan batu pertama dilakukan oleh putra pertama Rook Maker
yang pada saat itu masih berusia 6 tahun.
Pembangunan Jam Gadang menghabiskan biaya sekitar 3.000 Gulden, biaya
yang tergolong fantastis untuk ukuran waktu itu. Sehingga sejak dibangun
dan sejak diresmikannya, menara jam ini telah menjadi pusat perhatian
setiap orang. Hal itu pula yang mengakibatkan Jam Gadang kemudian
dijadikan sebagai penanda atau markah tanah dan juga titik nol kota
Bukittinggi.
Sejak didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada
bentuk atapnya. Awal didirikan pada masa pemerintahan Hindia-Belanda,
atap pada Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap
ke arah timur di atasnya.
Kemudian pada masa pendudukan Jepang diubah menjadi bentuk klenteng.
Terakhir setelah Indonesia merdeka, atap pada Jam Gadang diubah menjadi
bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang.
Renovasi terakhir yang dilakukan pada Jam Gadang adalah pada tahun 2010
oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dengan dukungan
pemerintah kota Bukittinggi dan kedutaan besar Belanda di Jakarta.
Renovasi tersebut diresmikan tepat pada ulang tahun kota Bukittinggi
yang ke-262 pada tanggal 22 Desember 2010
Sepintas, mungkin tidak ada keanehan pada bangunan jam setinggi 26 meter
tersebut. Apalagi jika diperhatikan bentuknya, karena Jam Gadang hanya
berwujud bulat dengan diameter 80 sentimeter, di topang basement dasar
seukuran 13 x 4 meter, ibarat sebuah tugu atau monumen.
Oleh karena ukuran jam yang lain dari kebiasaan ini, maka sangat cocok dengan sebutan Jam Gadang yang berarti jam besar.
Tapi coba lebih teliti lagi pada angka Romawi keempat. Terlihat ada
sesuatu yang tampaknya menyimpang. Seharusnya angka Romawi empat
menggunakan simbol IV.
Tapi angka “empat” pada Jam Gadang menggunakan simbol IIII. Penulisan
yang diluar patron angka romawi tersebut hingga saat ini masih diliputi
misteri.
Tapi uniknya, keganjilan pada penulisan angka tersebut malah membuat Jam
Gadang menjadi lebih “menantang” dan menggugah tanda tanya setiap orang
yang (kebetulan) mengetahuinya dan memperhatikannya. Bahkan uniknya
lagi, kadang muncul pertanyaan apakah ini sebuah patron lama dan kuno
atau kesalahan serta atau atau yang lainnya.
Dari beragam informasi ditengah masyarakat, angka empat aneh tersebut
ada yang mengartikan sebagai penunjuk jumlah korban yang menjadi tumbal
ketika pembangunan.
Atau ada pula yang mengartikan, empat orang tukang pekerja bangunan
pembuatan Jam Gadang meninggal setelah jam tersebut selesai.
Jika dikaji apabila terdapat kesalahan membuat angka IV, tentu masih ada
kemungkinan dari deretan daftar misteri. Tapi setidaknya hal ini
tampaknya perlu dikesampingkan.
Sebagai jam hadiah dari Ratu Belanda kepada controleur (sekretaris
kota), dan dibuat ahli jam negeri Paman Sam Amerika, kemungkinan
kekeliruan sangat kecil. Tapi biarkan saja misteri tersebut dengan
berbagai kerahasiaannya.
Terdapat 4 jam dengan diameter masing-masing 80 cm pada Jam Gadang. Jam
tersebut didatangkan langsung dari Rotterdam, Belanda melalui pelabuhan
Teluk Bayur dan digerakkan secara mekanik oleh mesin yang hanya dibuat 2
unit di dunia, yaitu Jam Gadang itu sendiri dan Big Ben di London,
Inggris.
Mesin jam dan permukaan jam terletak pada satu tingkat di bawah tingkat
paling atas. Pada bagian lonceng tertera pabrik pembuat jam yaitu
Vortmann Relinghausen.
Vortman adalah nama belakang pembuat jam, Benhard Vortmann, sedangkan
Recklinghausen adalah nama kota di Jerman yang merupakan tempat
diproduksinya mesin jam pada tahun 1892.
Jam Gadang dibangun tanpa menggunakan besi peyangga dan adukan semen. Campurannya hanya kapur, putih telur, dan pasir putih.
Keunikan dari Jam Gadang sendiri adalah pada kesalahan penulisan angka
Romawi empat (IV) pada masing-masing jam yang tertulis “IIII”. Kesahalan
penulisan tersebut juga sering terjadi di belahan dunia, seperti angka 9
yang ditulis “VIIII” (seharusnya IX) ataupun angka 28 yang ditulis
“XXIIX” (seharusnya XXVIII).
Sekarang balik lagi ke angka Romawi empat, apakah pembuatan angka empat
yang aneh itu disengaja oleh pembuatnya, juga tidak ada yang tahu.
Tapi yang juga patut dicatat, bahwa Jam Gadang ini peletakan batu
pertamanya dilakukan oleh seorang anak berusia enam tahun, putra pertama
Rook Maker yang menjabat controleur Belanda di Bukittinggi ketika itu.
Berdasarkan Wikipedia, sejarah penulisan angka IIII tersebut berdasarkan
kepada King Louis XIV (5 September 1638 – 1 September 1715) yang
meminta kepada seorang untuk membuat sebuah jam baginya.
Pembuat jam memberi nomor pada setiap jam sesuai dengan aturan angka
Romawi. Setelah melihat jam yang diberikan kepadanya, Raja tidak setuju
dengan penulisan IV sebagai angka “4? dengan alasan ketidakseimbangan
visual.
Menurutnya, angka VIII ada di seberang angka IV. Jika ditulis IV, maka
ada ketidakseimbangan secara visual dengan VIII yang lebih berat.
Oleh karena itu, Louis XIV meminta agar diubah IV menjadi IIII sehingga lebih seimbang dengan VIII yang ada di seberangnya.
Selain itu, jika dikaitkan dengan angka XII, maka keseimbangan itu akan lebih baik.
Akan tetap yang menjadi pertanyaannya mengapa Raja yang memerintahkan
perubahan itu lebih dikenal dengan Louis XIV daripada Louis XIIII,
sesuai dengan permintaannya kepada pembuat jam.
Dari sebuah situs lain yang berjudulkan “FAQ: Roman IIII vs. IV on Clock
Dials” dapat dilihat disana, Seorang yang bernama Milham mengatakan
bahwa penjelasan seperti di atas tidak sepenuhnya benar.
Menurutnya, penulisan IIII untuk angka “4? telah ada jauh sebelum Louis
XIV. Dari wikipedia bahwa penomoran Romawi memang bervariasi dari
awalnya. Pada masa awal angka “4? memang ditulis IIII dengan empat huruf
I.
Kesaksian lain dari situs tersebut, Franks, menyatakan bahwa ia tidak
pernah melihat jam matahari yang dibuat sebelum abad ke-19 yang
menggunakan angka IV, semuanya IIII.
Sehingga, para ahli jam heran dengan arsitek masa ini yang membuat jam menara besar-besar menulis “4? dengan IV, bukan IIII.
Salah satu yang menggunakan IV, bukan IIII, adalah Big Ben. Jadi,
implisit dikatakan bahwa Big Ben telah melanggar konvensi per-jam-an.
Penjelasan lain cukup menarik. Harvey, di situs yang sama, mengatakan
bahwa IV adalah singkatan dari dewa Romawi, Jupiter, yang ditulis
IVPPITER.
Jadi, jika IV diletakkan di dalam jam bangsa Romawi, maka jam itu akan
bertuliskan 1, 2, 3, DEWA, 5. Jika dilihat dari kacamata bangsa Romawi,
mungkin mereka tidak ingin nama tuhan mereka ditaruh di jam seperti
itu.
Namun, kalau dilihat dari kacamata Louis XIV , maka mungkin ia tidak
ingin ada nama dewa pagan di permukaan jam. Mana yang benar ? kita tidak
tahu. Masih di situs yang sama, menurut Mialki, alasan penggunaan IIII
bukan IV semata-mata masalah teknis.
Jika IV yang digunakan, maka pandai besi harus membuat huruf I sebanyak
16 batang, huruf X sebanyak 4 batang, dan V sebanyak 5 batang.
Masalahnya, pada masa itu, pandai besi hanya bisa ekonomis kalau membuat
besi dalam kelipatan empat.
Jika ditulis IV untuk “4?, maka akan ada satu 3 batang huruf V yang
terbuang. Sementara itu, jika “4? ditulis IIII, maka huruf V hanya
dibuat empat batang–dengan demikian ekonomis–dan huruf I sebanyak 20
batang–juga ekonomis.
Sekali lagi, mana yang benar dari penjelasan ini ? Belum ada yang pasti.
Namun, satu yang kita tahu sekarang adalah bahwa angka IIII di Jam
Gadang bukanlah sesuatu yang unik, aneh atau dianggap sebagai misteri
yang dikait-kaitkan dengan takhayul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar